
Jangan buang sampah sembarangan! Oke, lalu kami buang sampah di mana? Di desa kami belum ada jasa angkut sampah, TPA (Tempat Pembuangan Akhir) juga tidak ada.
Kadang kami yang tahu buruknya membuang sampah di pinggir jalan antardesa dilanda gelisah. Sudah tahu buruk, jawaban solutif belum punya. Membakar sampah di pekarangan rumah (kalau punya) jadi alternatif. Selain tak ada TPA, pembangunan rumah di desa kami juga seperti abai menyediakan tempat sampah yang memadai.
Bagi yang rumahnya tak ada pekarangan untuk bakar sampah, membuang sampah di pinggir jalan antardesa jadi pilihan. Bila dikatakan membakar sampah bisa menimbulkan efek rumah kaca, rasanya itu kata-kata yang belum bisa menggerakkan, meski sudah tahu, dan nasihat datang berulang-berulang.
Bahkan dalam Islam ada perkataan bahwa kebersihan sebagian dari iman. Nyatanya, tak sembarang orang bisa membuang sampah pada tempatnya, untuk menghindari kata mustahil.
Inovasi lain bisa dengan membuat kerajinan atau suvenir dari bungkus plastik, misalnya bungkus kopi dianyam menjadi tas belanja atau jadi bros. Hasil kerajinan dari sampah jika dipasarkan dengan baik bisa juga berubah jadi rupiah.
Sampah organik juga bisa berubah jadi kompos jika kita olah, misalnya dengan sistem keranjang takakura. Pembuatan kompos dengan menyelimuti sisa sampah organik dengan tanah. Cara takakura versi sederhananya kini sedang saya praktikkan.
Menyadari rumah tak punya pekarangan, dan membuang sampah sembarangan coba dihindari, saya memasukkan tanah ke dalam karung, lalu dituangkan sampah organik sisa makan, juga sisa opesan bumbu masak. Kemudian diselimuti tanah.
Besoknya, saya selimuti sampah organik lagi, dan di atasnya saya tuang tanah, dan begitu terus hingga karung penuh. Selanjutnya, karung tersebut didiamkan selama tiga puluh hari. Ditaruh di tempat yang lembab untuk menghindari terkena air hujan.
Dari beberapa solusi yang sudah kita ketahui, kita juga menyadari mengubah pola pikir tidak bisa sekejap. Pembaca novel Aroma Karsa karya Dee Lestari kemungkinan tahu cara berempati kepada orang yang tinggal di dekat TPA Bantar Gebang, muara dari sampah warga DKI Jakarta. Novel itu mengisahkan seorang bernama Jati Wesi yang hidup dan bekerja di TPA.
Bagaimana aroma sampah yang menumpuk seperti gunung? Bagaimana jika sampah di TPA nyatanya sudah melebihi dari daya tampungnya. Sedang kita masih saja memproduksi sampah dari hari ke hari.
Beberapa waktu yang lalu saya membaca buku Minim Sampah karya DK Wardhani. Bicara tentang TPA, buku ini menjelaskan bahwa persoalan dengan sampah hanya bergeser tempatnya, dari rumah kita ke TPA. Dan solusi yang mungkin perlu diterapkan dan jadi gerakan adalah mengolah sampah di kawasan rumah kita.
Tidak adanya TPA di sekitar desa saya tinggal tentu jadi pembeda konteks persoalan yang diangkat buku tersebut. Meskipun, solusi tentang mengolah sampah di rumah seperti solusi yang bisa diterapkan untuk mengatasi persoalan sampah di mana pun dan kapan pun.
Hari ini, beragam inovasi tentang pengolahan sampah juga bisa kita tonton di Youtube. Jika kita masih merasa sampah adalah persoalan yang perlu diatasi, seperti soal sampah yang menumpuk di pinggir jalan antardesa tempat saya tinggal, apa yang saya lakukan dengan sampah di rumah dengan keranjang takakura versi sederhana barangkali hanya langkah pertama dari seribu langkah yang perlu ditempuh.
Arif Rohman tinggal di Kudus
(mmu/mmu)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Inovasi Sampah di Desa - detikNews"
Post a Comment