Mampukah Kita Mengelola Sampah (Impor) ?
Oleh Nukila Evanty
SAMPAH telah menjadi masalah global sejak dahulu. Belakangan inipun negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia dibanjiri kiriman sampah dari negara-negara seperti Eropa (Spanyol, Belgia, Perancis , Jerman, Yunani, Belanda, Slovenia, Inggris ), Amerika, Australia, Selandia Baru dan Hongkong.
Tahun 2018 Indonesia mengimpor sebesar 283,152 ton sampah plastik dan kertas, sementara ekspor sampah plastik indonesia pada tahun 2018 sebesar 98,450 ton (data Badan Pusat Statistik).Hingga 17 September 2019, Direktorat Bea Cukai mencatat telah menindak lebih dari 2.041 kontainer di Pelabuhan Batam, Tangerang Banten, Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak.
Kontainer-kontainer tersebut banyak berisi kandungan limbah yang ternyata memiliki kandungan bahan berbahaya dan beracun (B3). Bedakan limbah B3 dengan "sampah" sebagaimana disebutkan dalam UU No. 18 / 2008 tentang Pengelolaan Sampah bahwa sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat. Sedangkan sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus.
Kondisi limbah B3 tersebut dapat menjadi berbahaya apabila tidak terdeteksi dan lolos untuk didistribusikan. Pemerintah pun telah mengembalikan (re-ekspor ) sembilan kontainer sampah plastik di terminal peti kemas Koja, pelabuhan Tanjung Priok Jakarta kenegara asal Australia (Mongabay 21 September 2019).
Menjadi bermasalah, karena cara re-ekspor dengan mengangkut (mengimpor) limbah B3 ke negara lain lagi yang umumnya di kawasan Asia (India, Thailand, Korea dan Vietnam) dan malah bukan ke negara asal sampah limbah tersebut, hal ini menjadi suatu pola yang sering dilakukan oleh negara -negara termasuk Indonesia .
Pola seperti ini telah dilaporkan oleh lembaga watchdog lingkungan Nexus 3 dan Basel Action Network (BAN) (dalam website ban.org 28 Oktober 2019) dan karenanya pola-pola seperti ini yang membuat impor sampah merusak lingkungan dan secara tidak langsung akan berdampak pada kesehatan masyarakat marjinal karena limbah B3 tersebut.
Regulasi Impor Sampah di Indonesia
Ketentuan tentang impor limbah di Indonesia telah diatur dalam beberapa peraturan, baik Undang-Undang maupun Peraturan Menteri. Aturan-aturan yang ada pada dasarnya terdiri atas 2 jenis, yaitu yang mengizinkan dengan batasan atau prasyarat tertentu dan yang melarang tanpa memberikan batasan.
Dengan masuknya kontainer-kontainer yang mengandung limbah B3 tersebut, maka telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pelarangan masuknya limbah dan limbah B3 ke wilayah Kesatuan Indonesia berdasarkan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup . Dalam Pasal 69 (1), menyebutkan setiap orang dilarang untuk melakukan hal-hal berikut:
Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ;memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia ; membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.
Selanjutnya, pelarangan impor sampah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 101 / 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahaya dan Beracun dan Kepmenperindag 39/MDag/Per/9/2009 tentang larangan impor limbah B3 serta SK Menteri Perdagangan Nomor 349/Kp/XI/1992 tentang Larangan Impor Sampah Plastik.
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendagri) No. 84/2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri dalam Pasal 2 (1) menyebutkan bahwa: "Limbah Non B3 dapat diimpor misalnya berupa sisa buangan dan scrap". Sementara, untuk jenis-jenis limbah non B3 yang dapat dapat diimpor pun telah diatur dalam lampiran peraturan tersebut. Limbah tersebut hanya dapat digunakan untuk bahan baku industri.
Kemudian peraturan tentang limbah juga diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 29 Ayat (1) UU Pengelolaan Sampah menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan hal-hal berikut: memasukkan sampah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia , mengimpor sampah dan mencampur sampah.
Antara Ketentuan Hukum dan Rumitnya Sampah yang harus dikelola
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya melalui Peraturan Presiden No 47/2005.Konvensi Basel ini penting bagi Indonesia untuk mencegah wilayah Indonesia yang terdiri pulau- pulau dengan perairan terbuka menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah yang dihasilkan oleh negara -negara industri maju, untuk perlindungan lingkungan hidup dan perlindungan kesehatan manusia.
Jadi, mekanisme impor sampah sesuai Konvensi Basel berdasarkan konsep prior informed consent ( persetujuan diawal ) sebelum proses ekspor sampah dilakukan maka negara yang mengekspor sampah harus memberitahukan informasi pemindahan sampah kepada negara tempat sampah diimpor dan negara tempat transit sampah. Baik negara -negara pengekspor, negara tempat impor sampah dan negara tempat transit sampah harus ada persetujuan tertulis ( pasal 6 dan 7 Konvensi Basel).
Berdasarkan Konvensi Basel dimungkinkan penyelesaian secara non hukum melalui upaya diplomatik misalnya re-ekspor sampah yang mengandung B3 ke negara asalnya .Namun jika upaya ini gagal, maka harus diselesaikan melalui arbitrase seperti tercantum dalam ketentuan Konvensi Basel.
Indonesia sendiri masih mengalami kesulitan menanggulangi masalah sampah impor, sampah dari laut (marine debris) , sampah sungai dikarenakan belum ada manajemen pengelolaan sampah yang dilakukan secara optimal dan berkelanjutan termasuk peraturan, mekanisme yang tumpang tindih serta overlapping tugas antara kementrian misalnya dalam hal izin dikeluarkan oleh Kementrian Perdagangan sedangkan rekomendasi dikeluarkan dari KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Pemerintah semestinya tegas dengan larangan impor limbah bahan berbahaya dan beracun ( B3) serta menindak perusahaan atau negara asal yang membawa limbah B3 tersebut dengan membayar ganti rugi, membayar kompensasi yaitu pemberian imbalan kepada orang yang terkena dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah tersebut , memulihkan lingkungan yang tercemar, serta harus menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
*Penulis Adalah Direktur Eksekutif RIGHTS Asia
(Red/CN26/SM Network)
Berita Terkait
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Mampukah Kita Mengelola Sampah (Impor) - Suara Merdeka CyberNews"
Post a Comment