DEWASA ini, tidak hanya singkong yang bisa diragi menjadi peuyeum. Sampah pun bisa ”dipeuyeum”.
Namun, tentu saja tujuan akhirnya bukan untuk dikonsumsi, melainkan membuat sampah-sampah menjadi lembek seperti peuyeum, untuk kemudian dihancurkan. Ini adalah salah satu tahap pengolahan sampah dalam metode tempat olah sampah setempat (TOSS) yang diperkenalkan oleh Tim Peduli Sampah Citarum pada Selasa, 10 April 2018 lalu di Kompleks Kampus Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jalan Sangkuriang Kota Bandung.
Tim tersebut terdiri atas personel LIPI, Institut Teknik Bandung (ITB)-74, alumni Resimen Mahawarman Yon 1-ITB, dan Wanadri.
Inovator olah sampah TOSS, Sonny Djatnika Sunda Djaja, menjelaskan mengolah sampah dengan metode TOSS tidak butuh keahlian khusus. Dibandingkan metode biodigester atau pengomposan, TOSS punya beberapa kelebihan.
Kelebihan itu antara lain TOSS tidak membutuhkan ruang tertutup karena prosesnya berlangsung secara aerob. Lalu, tidak perlu dilakukan pemilahan sampah organik dan anorganik karena semuanya bisa diproses.
Selain itu, hasil akhir olah sampah TOSS berupa briket dengan nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan kompos. Kebutuhan briket sebagai sumber energi pembakaran di industri khususnya di Jawa Barat pun terbilang tinggi sehingga memudahkan penjualan. Di Bandung saja, ada sekitar 200 pabrik yang membutuhkan briket sebagai tenaga pembakar.
Olah sampah TOSS diawali dengan proses penguraian setelah semua sampah dikumpulkan di keranjang bambu. Menurut Sonny, keranjang bambu dipilih karena lebih tahan terhadap terhadap proses penguraian dengan tingkat keasaman tinggi.
"Kami sudah coba pakai beton dan logam. Karena pH 4-5, pH itu keasaman, maka logam cepat rusak. Sementara beton bersifat basic, bisa membunuh bakterinya. Kalau bambu itu ergonomik. Kerusakan juga lebih karena bongkar pasang diperkirakan 3-5 tahun diganti. Ya biar pengrajin bambu juga kebagian (rejeki)," kata Sonny.
Sampah-sampah itu diurai oleh bakteri Bacillus sp, Lactobacillus, Azeto-bacter, dan ragi, ditambah inframerah sinar matahari. Dari hasil penelitian yang dilakukan di antaranya di Bali dan Pondok Kopi Jakarta Selatan, penguraian menghasilkan bau yang sesaat kemudian hilang.
Lalat akan menjauh, tetapi serangga lain seperti semut mendekati. Lalu berat sampah berkurang 50 persen tanpa menghasilkan air lindi (leachate).
Temperatur selama proses juga naik sampai di atas 50 derajat Celcius sehingga sampah plastik dan styrofoam pun lunak. Untuk sampah anorganik berbahan keras seperti kaca dan beton, lanjut Sonny, bisa turut dihancurkan, selanjutnya dibakar menjadi bahan abu untuk bangunan sehingga sampah benar-benar zero-waste.
Penguraian memakan waktu sekitar 5 hari. Setelah itu, ”peuyeum” sampah tersebut didiamkan selama 5 hari untuk menormalkan kembali suhu. Baru kemudian sampah dihancurkan dan dibriketisasi sesuai dengan ukuran yang diinginkan.
”Untuk briketisasi bisa dilakukan dalam sehari,” ujar Alumnus Teknik Pertambangan ITB itu.
Butuh 50 TOSS
Jika dipilih sebagai solusi pengolahan sampah di sepanjang sungai Citarum, menurut Sonny, dibutuhkan sekitar 50 TOSS. TOSS akan efektif ditempatkan di lokasi pembuangan sampah sementara.
Nilai investasi TOSS, menurut Sonny, sekitar Rp 200 juta - Rp 300 juta per satu TOSS dengan kapasitas sampah yang tertangani sekitar 10 ton/hari.
Sebagai gambaran, sampah yang dihasilkan Kota Bandung setiap harinya 1.474 ton/hari dan hanya 800 ton yang terangkut ke tempat pembuangan sampah akhir. "Kalau (sampah) orang Bandung 0,4 kg/orang/hari," tutur Penasihat Teknik dan Perekayasaan Pupuk Kaltim itu.
Setara Batubara
Briket dari sampah hanya dihasilkan selama proses 10 hari-12 hari. Sementara batu bara dari bumi yang sama-sama digunakan oleh industri untuk pembakaran, butuh proses pembentukan alamiah selama 360-an tahun.
Namun begitu, dari hasil uji coba di PLN, Sonny mencatat keunggulan briket sampah. Briket sampah berkalori 2.800 kilokalori-3.000 kkal dibandingkan dengan batu bara 4.000 kkal dalam sebuah pendidihan air.
Satu liter air pertama, mendidih setelah pemanasan 12 menit dengan batu bara. Satu liter air kedua, belum juga mendidih sampai menit ke-30. Api dari batu bara kemudian mati.
Sementara dengan briket sampah, satu liter air pertama mendidih setelah 4-5 menit pemanasan. Satu liter air kedua, juga mendidih sekitar 5 menit kemudian. Kemudian api mati.
"Jadi lebih hemat, lebih cepat. Jangan disamakan nilai kalori dengan nilai heating utilization. Yang kita butuhkan dalam industri bukan kalori tetapi memanfaatkan panas dengan baik," kata dia.
Pada percobaan lain, sampah juga terbukti bisa menaikkan nilai kalori batu bara. Batu bara berkalori rendah sekitar 3.600 kkal yang selama ini sering dibuang sehingga mencemari lingkungan, jika dicampur dengan sampah dan diproses sedemikian rupa, nilai kalorinya bisa menjadi 5.000 kkal.
"Jadi batu bara bernilai kalori rendah tidak perlu lagi dibuang," kata dia.
Implementasi TOSS di Indonesia, menurut Sonny, akan meminimalisasi bahkan menghilangkan fungsi TPA. Penerapan TOSS diyakini akan memunculkan konflik kepentingan khususnya terhadap pihak-pihak yang selama ini diuntungkan dengan keberadaan TPA.
Berbeda cerita dengan Eropa. Negara-negara di benua biru itu justru membongkar TPA mereka sejak 2015. "Ada sekitar 500.000 TPA di Eropa yang dibongkar karena pada akhirnya TPA merusak kimia tanah dan hidrobiologi. TPA di Bandung Raya yaitu Legoknangka yang sedang dipersiapkan, juga pada akhirnya tidak baik untuk air di Limbangan juga Kadungora karena kemiringannya ke arah sana (Limbangan dan Kadungora)," kata dia.***
Baca Lagi dah di situ http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2018/04/13/peuyeum-sampah-mengolah-sampah-menjadi-briket-422793Bagikan Berita Ini
0 Response to "Peuyeum Sampah, Mengolah Sampah Menjadi Briket"
Post a Comment